Jika tak dipelihara, arsip tulisan bisa lenyap dan terkubur. Mengingat lagi ketika ide terkumpul sejak kapan lalu dan harus ditumpahkan lewat secarik kertas, atau folder beralamat digital.
Bahkan chat WhatsApp yang terparkir di nomor pribadi mestilah dihitung sebagai catatan berharga.
Setidaknya, itu esensi kuliah. Lain kata apabila hanya datang ke kampus lalu pergi; berkumpul di kantin untuk gosip; jalan bareng kekasih lalu putus esoknya; tapi menulislah sesuai gaya dan tabiat. Mampu mengadu kegelisahan dengan argumen. Menyuarakan apa saja yang tak dilirik orang banyak.
Kalau tak rajin menulis begitu, sebutan “Mahasiswa” terkesan main-main bahkan dianggap flexing atau cuma pamer. Pamer jas almamater, misalnya. Bisa jadi juga begini “Aku penerima KIP-K dan pemerintah berpihak kepadaku.”
Memalukan.
Nulis Caption itu lebih baik
Semua orang punya keahlian nulis caption. Jika lebih baik, lakukanlah dengan sungguh-sungguh dan jangan berhenti di tengah jalan.
Bukan tanpa alasan, meniti kesahajaan hidup atau hidup lebih baik—istilah yang digunakan tiap orang tua kepada anak—dimulai dari upayanya merawat pengetahuan menulis.
Kata orang, membaca dulu baru menulis. Emang iya?
Membaca itu syariat. Perilaku. Dilakukan sesuai kebutuhan jika mukallaf—sebutan bagi orang berakal, beragama (khususnya Islam), dan baligh (cukup usia produktif)—sadar atas dirinya memiliki akal sehat dan mampu berpikir.
Adagium ilmu Mantiq berbunyi Al-Insanu Hayawanunnatiq—terjemah bebasnya: manusia itu spesies yang dispesialkan dengan keahlian berpikir sejak lahir dan dihitung sama seperti hewan secara perilaku—setidaknya “menampar” kita betapa harus kritis tanpa meninggalkan sifat hewani. Jika predikat “Annatiq” berfungsi, niscaya kegiatan membaca serupa minum air putih dua liter sehari.
Benarkah kalau menulis dia akan dikenal sejarah, kata Pramoedya?
Betul jika kamu benar-benar membaca Pramoedya Ananta Toer (PAT) dengan khusyuk.
Pram, kerjanya itu seperti kita. Seorang intelektuil sejarah yang merekam banyak hal lewat memoir, novel, kliping dan yang sejenisnya untuk diterbitkan. Meski pada akhirnya tak semua yang diciptakan hadir di tangan kita lalu terbaca.
Alasan PAT menulis itu cuma dua: arsip dan sebar. Pram menggambar ulang kondisi masyarakat pribumi di masa kolonial. Dia melakukan ini sebagai bentuk perlawanan. Karya-karyanya menjadi warisan generasi ke generasi. Itulah alasan mengapa Pram menulis. Antara lain untuk melawan, mendokumentasikan, lalu dilimpahkan sebagai refleksi generasi sesudahnya.
Menulislah seperti Pram meski sendirian!.
Lalu apa lagi?
Setiap kita biasakan menaruh kegelisahan dengan menulis. Meski tak rapi dan bagus, setidaknya akan merekam perkembangan seiring waktu.
Kalau hari ini terbaca lebih emosi, mungkin besok (terbaca) lebih dramatik. Kalau hari ini terkesan lebay, mungkin esok (terbaca) lebih ke curhat. Kalau hari ini frontal, mungkin kapan waktu (terbaca) berlebihan dan sok keras. Cobalah. Lalu sampaikan kepada teman akrabmu yang gemar mencemooh tanpa merasa tersinggung.
Membaca disebut juga menyaksikan syariat bekerja. Semacam proses publikasi ide dan keberadaanmu di mata orang banyak sedunia. Minimal sekampus.